Resensi Buku

Di Balik Kebohongan bahwa Perempuan Inferior dan Jalan Pembebasan Perempuan

Jarang saya dengar di ruang diskusi bicara ihwal matriarki. Riuh berisik di ruang diskusi kerap hanya menggaungkan perlawanan terhadap patriarki. Sayangnya, masih ada yang menempatkan konsep perlawanan terhadap patriarki sebagai perlawanan antara jenis kelamin perempuan melawan jenis kelamin laki-laki, bukan pada persoalan terkait dominasi. Saya kira, hal inilah yang membuat masih adanya kekeliruan dalam mendefinisikan pembebasan perempuan secara murni. Sehingga, kita akan menjumpai perang antar jenis kelamin yang menggelikan pada linimasa setiap menyinggung domestikasi, dibanding menempatkannya dalam kerangka pertarungan kelas.

Beberapa bulan lalu, jagad dunia maya heboh membahas topik “bekal makan untuk suami.” Bejibun pertanyaan sekaligus hujatan muncul seperti peluru; mereka saling serang tentang siapa yang paling dangkal memahami persoalan itu apalagi ketika dikaitkan dengan pembebasan perempuan. Sementara itu, di ruang terbuka, masih ada kepercayaan yang menempatkan perempuan sebagai jenis kelamin kelas dua; perempuan dianggap lebih cocok tinggal di rumah lantaran tidak memiliki superioritas seperti laki-laki. Itulah konsep yang lahir dari sejarah yang bias, sehingga membuat perempuan dianggap sebagai jenis kelamin yang inferior.

Menjawab “Pertanyaan Perempuan”

Sosialis dan aktivis perempuan Amerika Serikat, Evelyn Reed membantah tudingan bahwa perempuan ditakdirkan “inferior” melalui bukunya Mitos Inferioritas Perempuan. Reed di awal bukunya mengulas tentang sejarah matriarki dan patriarki dengan tajuk “Keluarga dan Perempuan: Sebuah Cara Pandang Sejarah.” Reed sengaja memulainya dengan analisa sejarah lantaran banyak dongeng beredar yang dianggap menutup “pertanyaan perempuan” terkait kebenaran akan takdir serta sejarahnya. 

Dengan mengutip buku Engels yang berjudul Origin of the Family, Private Property, and the State, Reed sampai pada kesimpulan sosiologis dari kumpulan bahan antropologis. Menurut Engels, ada perbedaan tajam antara masyarakat primitif yang tanpa kelas dengan masyarakat yang sudah terbagi dalam kelas-kelas sosial. Reed mengambil tiga poin dalam buku Engels ini: Pertama, pada masyarakat primitif alat produksi dimiliki secara kolektif dan setiap anggota masyarakat menggunakannya secara setara. Dengan relasi produksi yang setara, maka dalam masyarakat tersebut tidak ada penguasa. Kedua, aparatur negara dan segala antek-anteknya tidak ada. Di masyarakat primitif, pemerintahan dilaksanakan secara demokratis. Semua memiliki hak yang sama, termasuk perempuan. Ketiga, sejak terbentuknya masyarakat berkelas yang patriarkal, menempatkan Ayah sebagai unitnya, sedangkan masyarakat primitif yang matriarkal mempunyai gen atau klan dari Ibu sebagai unitnya.

Buku-Buku dari Evelyn Reed dapat DIBELI di Sini

Selain itu, Reed juga menunjukan bahwa masyarakat berkelas serta sistem patriarki tidak ada sejak manusia ada. Sistem ini hadir seiring dengan perkembangan masyarakat yang kemudian menempatkan perempuan pada posisi inferior. Padahal jika ditelisik lebih dalam, sebelum kehadiran sistem tersebut atau di masyarakat primitif, perempuan menikmati kebebasan dan kemandirian. Dalam masyarakat primitif ini, kehidupan berlangsung secara kolektif, setara, dan demokratis, perempuan juga menempati posisi berpengaruh dan dihormati di masyarakat. Namun, hal tersebut seolah dikaburkan dengan upaya kelas penguasa untuk memitoskan bahwa sejak keberadaan manusia, perempuan sudah inferior dan unit utama keluarga adalah dari Ayah. Padahal, budaya patriarkal terbentuk dari perubahan sistem matriarkal.  

Terkait inferioritas perempuan, hal itu seringkali dikaitkan dengan fungsi biologis perempuan yaitu melahirkan anak. Sebab, kisah yang berdengung, perempuan harus berada di rumah lantaran melahirkan dan merawat anak; maka kesimpulan yang beredar adalah perempuan lebih cocok untuk tinggal di rumah. Keberadaan di rumah tersebutlah, menurut Reed, membuat perempuan “tidak terlihat” dan menjadi “jenis kelamin kedua” secara sosial. 

Sementara laki-laki mendapat tempat sebagai jenis kelamin utama dalam kehidupan ekonomi, politik, dan intelektual. Namun, menurut Reed, sistem patriarki yang mengakar ini hanya sebuah propaganda. Mereka menggunakan fungsi keibuan perempuan sebagai pembenaran ketidaksetaraan antar jenis kelamin dan membuat posisi perempuan mengalami degradasi.

Dengan menyodorkan beragam sejarah, Reed berusaha menjawab “pertanyaan perempuan” yang selama ini ditutup dengan dongeng sebelum tidur; perempuan hanya boleh beranak-pinak dan taat dengan laki-laki di dalam rumah. Saya kira, jawaban yang dihimpun Reed mesti disebarkan di sekolah-sekolah, kampus-kampus, tempat kerja, bahkan perkumpulan Ibu-Ibu. Sebab, sejarah macam ini adalah sejarah yang sebenarnya, yang mampu menjadikan perempuan merdeka untuk menentukan pilihannya. Bukan terjebak dengan dongeng-dongeng yang mengerangkeng kemerdekaannya.

Pembebasan Perempuan

Reed membantah mitos inferioritas perempuan dengan menyajikan beragam fakta keberadaan perempuan yang membentuk masyarakat matriarki. Fakta tersebut didapatkan dari catatan-catatan persalinan perempuan primitif. Menurut Reed, ada hal yang dikuasai oleh perempuan primitif, seperti kontrol pasokan makanan, industri sains, kedokteran, penggunaan api, tali tambang dan tekstil, pembuat kulit, penyamakan, pembuat pot dan hiasan, tembikar india, arsitek dan insyinur. 

Dengan fakta-fakta tersebut, Reed akhirnya menawarkan perlawanan kelas melawan kelas, bukan seks melawan seks. Selanjutnya, Reed juga menggunakan analisis kelas yang kerap digunakan kaum marxis. Pasalnya, Reed berpendapat bahwa persoalan pengeksklusian dan marginalisasi perempuan bukanlah disebabkan oleh laki-laki, akan tetapi oleh keberadaan masyarakat berkelas, itu karena perempuan yang berkuasa pun bisa dengan mudah mudah menindas perempuan lain dan bahkan menindas laki-laki kelas pekerja.

Buku-Buku tentang Perempuan dan Feminisme dapat DIBELI di Sini

Kendati perempuan mendapatkan tuduhan sebagai jenis kelamin yang inferior, pada dasarnya, diskriminasi semacam ini juga dapat menimpa masyarakat lain. Menurut Reed, kondisi ini jangan sampai dikacaukan dengan “kebencian terhadap laki-laki”. Sehingga, bagi Reed, pendapat perempuan harus bergabung dengan perempuan adalah hal yang menyesatkan. 

Pasalnya, upaya tersebut malah mengerdilkan gerakan kolektif itu sendiri. Lantaran gerakan kolektif yang didasarkan dengan jenis kelamin, lalu mempunyai agenda untuk memenangkan jenis kelamin itu sendiri, akan mengubah esensi dari pembebasan secara fundamental. Maka, agar dapat memenangkan emansipasi, maka kelompok tertindas harus bergabung dengan gerakan sosialis revolusioner, baik itu perempuan maupun laki-laki dari kelas pekerja, karena musuh mereka tidak hanya patriarki, tetapi juga kapitalisme yang selama ini telah menciptakan ketimpangan dan eksploitasi kepada manusia dan kerusakan terhadap alam.

Judul Buku: Mitos Inferioritas Perempuan
Penulis: Evelyn Reed
Penerjemah: Pramudya Ken Dipta
Ukuran: 12 x 18 cm
Penerbit: Penerbit Independen

_________________________
Umi Uswatun Hasanah
Mahasiswi Komunikasi Penyiaran Islam di IAIN Purwokerto dan Pemimpin Umum di Lembaga Pers Mahasiswa Saka.

________________________________
Jika
kawan-kawan hendak mengirimkan tulisan untuk dimuat di bukuprogresif.com, silahkan lihat syarat dan ketentuan ini.

Untuk mendapatkan email secara otomatis dari kami jika ada tulisan terbaru di bukuprogresif.com, silahkan masukan email anda di bawah ini dan klik Subscribe/Berlangganan. Setelah itu, kami akan mengirimkan email ke anda (kadang terkirim di menu spam/update) dan silahkan buka dan konfirmasi.

Related posts

Leave a Comment

× Ada yang bisa kami bantu?